Cardovanews.com – MEDAN – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara kembali menunjukkan komitmennya dalam mengedepankan pendekatan Restorative Justice (RJ) sebagai solusi penyelesaian perkara pidana yang mengutamakan pemulihan hubungan sosial.
Melalui kebijakan ini, Kejati Sumut berhasil memulihkan hubungan antara seorang ibu dan anak kandungnya di Kabupaten Tapanuli Selatan, yang sebelumnya sempat terlibat kasus pidana pengancaman.
Perdamaian tersebut tercapai setelah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAMPIDUM) Kejaksaan RI, melalui Sekretaris Jampidum di Jakarta, menyetujui permohonan penyelesaian perkara dengan mekanisme keadilan restoratif yang diajukan oleh Kejati Sumatera Utara, Rabu (15/10/2025).
Disetujui JAMPIDUM, Kejati Sumut Terapkan Restorative Justice
Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Dr. Harli Siregar, S.H., M.Hum., bersama Asisten Pidana Umum (Aspidum) dan para Kepala Seksi di bidang Pidana Umum, secara resmi menetapkan perkara dari Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan (Kejari Tapsel) untuk diselesaikan dengan pendekatan Restorative Justice (RJ).
Plh. Kasi Penerangan Hukum Kejati Sumut, M. Husairi, membenarkan hal tersebut.
“Benar, penyelesaian perkara melalui pendekatan keadilan restoratif dilaksanakan setelah Bapak Kajati beserta jajaran Aspidum menggelar ekspose permohonan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum. Setelah pemaparan, permohonan disetujui untuk diselesaikan tanpa melalui proses penuntutan atau persidangan,” ujar Husairi di Medan.
Kasus Pengancaman Ibu Kandung di Tapanuli Selatan
Berdasarkan hasil penelitian, perkara ini bermula pada Minggu, 3 Agustus 2025, di Desa Panobasan Lombang, Kecamatan Angkola Barat, Kabupaten Tapanuli Selatan.
Tersangka berinisial MUL diduga melakukan tindak pidana pengancaman terhadap ibunya sendiri, RJL, yang menjadi korban dalam kasus ini.
Atas perbuatannya, MUL dijerat dengan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang tindak pidana pengancaman. Setelah pelimpahan perkara ke Kejari Tapanuli Selatan, jaksa fasilitator melakukan penelitian mendalam dan mengupayakan mediasi antara tersangka dan korban, disaksikan oleh keluarga besar, tokoh masyarakat, serta penyidik kepolisian.
Dari hasil mediasi tersebut, korban dan tersangka sepakat berdamai, sehingga perkara diusulkan untuk diselesaikan melalui mekanisme Restorative Justice, dengan pertimbangan adanya hubungan darah antara pelaku dan korban serta keinginan kuat kedua belah pihak untuk berdamai.
Tujuan Restorative Justice: Pulihkan Harmoni Sosial
Menurut Husairi, penyelesaian perkara ini bukan hanya menghentikan proses hukum, tetapi juga memulihkan hubungan keluarga yang sempat retak akibat peristiwa tersebut.
“Setelah penyelesaian perkara ini, diharapkan hubungan baik antara ibu dan anak dapat kembali pulih seperti sedia kala. Inilah esensi dari keadilan restoratif, yaitu mengembalikan harmoni sosial di tengah masyarakat,” jelasnya.
Ia menambahkan, penerapan Restorative Justice sejalan dengan arahan Jaksa Agung Republik Indonesia agar setiap satuan kerja kejaksaan di seluruh daerah mengedepankan penyelesaian perkara dengan menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal, perdamaian, dan musyawarah.
Kejati Sumut Konsisten Jalankan Keadilan Restoratif
Kejati Sumatera Utara menjadi salah satu lembaga kejaksaan yang aktif menerapkan prinsip Restorative Justice di berbagai daerah. Pendekatan ini diyakini mampu menekan angka residivisme, mengurangi beban perkara di pengadilan, serta memperkuat kepercayaan publik terhadap penegakan hukum yang berkeadilan dan berperikemanusiaan.
Dengan diselesaikannya kasus ini secara damai, Kejati Sumut menegaskan bahwa keadilan tidak selalu harus berakhir di meja hijau, melainkan dapat dicapai melalui dialog, kesadaran, dan pemulihan hubungan sosial.
(Red).