Cardovanews.com – JAKARTA – Dugaan kuat adanya anggaran siluman senilai Rp19,7 miliar di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta memicu keprihatinan publik dan sorotan tajam berbagai pihak. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Dr. Trubus Rahadiansyah, menilai kasus ini merupakan bentuk korupsi berjamaah yang mencoreng kredibilitas lembaga publik.
Menurut Trubus, proyek misterius tersebut bukan bagian dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi) BPBD DKI Jakarta dan tidak pernah diusulkan pada tahun sebelumnya. Hal ini memperkuat indikasi adanya praktik penyimpangan dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran.
“Peristiwa ini bukan hal baru. Biasanya praktik seperti ini sudah berulang kali terjadi dan melibatkan banyak pihak, mulai dari pejabat internal hingga politisi di Kebon Sirih yang seharusnya melakukan fungsi pengawasan terhadap mitra kerjanya,” ujar Trubus kepada Info Indonesia, Selasa (21/10/2025).
Trubus menegaskan aparat penegak hukum (APH) — baik kepolisian, kejaksaan, maupun KPK — tidak boleh menunda langkah hukum. Menurutnya, pimpinan BPBD harus bertanggung jawab penuh karena tidak mungkin kegiatan sebesar itu berlangsung tanpa sepengetahuan kepala satuan kerja.
“Kasus ini jangan berhenti di level bawah. Jangan ulangi kesalahan seperti kasus Gayus Tambunan yang hanya menjerat pejabat kecil. Publik sudah muak dengan penegakan hukum yang tebang pilih,” tegasnya.
Trubus juga mengingatkan APH agar tidak menunggu laporan masyarakat karena indikasi pelanggaran sudah terang benderang. Ia menegaskan bahwa kasus korupsi kebijakan seperti ini termasuk kategori kejahatan serius yang harus diusut tanpa alasan apapun.
“Pak Mahfud MD sudah berulang kali menegaskan bahwa tugas APH adalah menyelidiki dan menyidik korupsi tanpa menunggu laporan masyarakat. Kasus ini jelas-jelas termasuk korupsi kebijakan yang melibatkan banyak pihak,” pungkasnya.
Aroma Busuk Pengadaan EWS di BPBD DKI Jakarta Tercium Kuat
Kasus ini mencuat setelah beredar dokumen resmi yang menyebut adanya penolakan internal terhadap proyek bernilai Rp19,7 miliar tersebut. Salah satu kepala bidang di BPBD DKI Jakarta, yang juga menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), menolak melaksanakan proyek pengadaan Early Warning System (EWS) Kebencanaan karena dianggap tidak sesuai dengan perencanaan dan bukan kewenangan bidangnya.
Dalam nota dinas No.68/Bid2/III/2024/PN.01.03 tertanggal 25 Maret 2024, disebutkan bahwa kegiatan tersebut semestinya berada di bawah Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan (Bidang 1), bukan di Bidang Kedaruratan dan Logistik.
Selain itu, hasil presentasi pihak pelaksana, PT Bigcon Teknologi Indonesia, juga menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, teknologi sensor banjir dan curah hujan yang ditawarkan sama persis dengan sistem milik Dinas Sumber Daya Air DKI dan BMKG yang sudah beroperasi. Artinya, proyek tersebut berpotensi tumpang tindih dan tidak efisien.
Sumber di internal BPBD menyebut kegiatan ini tidak pernah dibahas dalam perencanaan tahun 2023, namun tiba-tiba muncul dalam dokumen anggaran 2024. Fakta ini memperkuat dugaan adanya rekayasa proyek untuk kepentingan tertentu.
Respons BPBD dan DPRD DKI: Jawaban Singkat, Publik Bertanya
Ketika dikonfirmasi, Kepala Pelaksana BPBD DKI Jakarta, Isnawa Adji, belum memberikan penjelasan rinci terkait sumber dan penggunaan anggaran tersebut. Melalui pesan singkat WhatsApp, Isnawa hanya mengatakan, “Silakan bersurat, nanti kami jelaskan. Terima kasih.”
Sementara itu, Mujiyono, Sekretaris Komisi A DPRD DKI Jakarta yang menjadi mitra kerja BPBD, juga enggan menjawab detail soal pengawasan dan proses pembahasan program tersebut. “Tanya Pak Isnawa aja,” katanya singkat.
Sikap bungkam para pejabat ini justru memperkuat persepsi publik bahwa ada upaya menutupi penyimpangan anggaran di tubuh BPBD DKI Jakarta.
Publik Desak Transparansi dan Penegakan Hukum
Kasus dugaan anggaran siluman Rp19,7 miliar ini menjadi ujian serius bagi komitmen pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dalam membasmi korupsi. Di tengah upaya Presiden Prabowo memperketat efisiensi belanja negara dan memotong program tidak produktif, praktik seperti ini justru mencederai semangat reformasi birokrasi.
Publik kini menunggu langkah tegas dari Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK untuk mengusut tuntas kasus ini hingga ke akar-akarnya, bukan sekadar menjadikan bawahan sebagai kambing hitam.
(SP).